Judul: Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: DAR! Mizan/Pastel Books
Terbit: April, 2014
Tebal: 332 hlm
ISBN: 9786027870413
“Cinta
itu indah, jika bagimu tidak, mungkin kamu salah milih pasangan.”
Blurb:
“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu.
Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.”
(Dilan 1990)
“Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu,
nanti, besoknya, orang itu akan hilang.”
(Dilan 1990)
“Cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan.
Kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli.”
(Milea 1990)
Review:
Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 merupakan novel karya Pidi
Baiq yang bulan Agustus lalu aku beli secara random bersama
dengan buku keduanya yaitu Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1991. Buku ini tidak
memiliki sinopsis pada sampul belakang sebagaimana novel biasanya, namun yang
membuat aku tertarik untuk membeli buku ini adalah pada sampul belakang
berisikan kutipan-kutipan yang berasal dari novel tersebut serta beberapa
testimoni dari pembaca.
Kisah ini berawal dari Milea yang sedang berjalan kaki menuju SMA
barunya, tiba-tiba Dilan datang dan langsung memanggil namanya. Tanpa
basa-basi, Dilan mengatakan bahwa dia akan meramal Milea bahwa mereka akan
bertemu kembali di kantin sekolah. Walaupun ramalan tersebut tidak tepat, yang
Milea tahu adalah Sang Peramal tersebut merupakan lelaki yang pada akhirnya
berhasil mengisi hari-harinya menjadi lebih baik.
Dalam novel ini, Dilan adalah sosok lelaki yang baik dan juga
cerdas serta memiliki sifat yang cukup keras. Selain itu, Dilan merupakan
seorang lelaki yang tahu bagaimana cara memperlakukan dan menyenangkan hati
perempuan. Romantis, Dilan sangat romantis dengan caranya sendiri. Kemudian,
penulis menggambarkan karakter Milea sebagai perempuan yang sangat cantik.
Selain Dilan, masih banyak lelaki yang secara terang-terangan menunjukan rasa
suka terhadapnya bahkan mengejarnya.
Buku ini berhasil membuat aku jatuh cinta kepada sosok Dilan.
Dilan tidak digambarkan sebagai pemuda yang dapat menarik hati perempuan karena
ketampanannya, tidak, ia biasa saja. Namun dibalik itu semua, dia adalah sosok
yang mampu menghidupkan suasana menjadi lebih menyenangkan dan berkesan, serta
tingkahnya yang tidak dapat ditebak.
Kisah yang diangkat memang cukup standar mengenai kisah percintaan
anak SMA, namun Pidi Baiq berhasil mengolah kisah ini menjadi unik. Buku ini
banyak berisikan dialog antartokoh. Bahasa yang penulis bawakan cukup sederhana
walaupun terkadang ada kalimat yang sulit dimengerti. Di dalam buku ini
dilengkapi ilustrasi-ilustrasi yang menarik yang digambar langsung oleh sang
penulis.
Overall, aku sangat menikmati
membaca buku ini. Membaca buku ini seperti sebuah candu dimana kita dibuat
selalu penasaran akan apa yang ada pada halaman berikutnya. Bukan, lebih
tepatnya, Dilan adalah candu. Kata-katanya, puisi yang ia buat, perilakunya,
serta keanehannya adalah kekuatan tersendiri di dalam novel ini.
Pidi Baiq berhasil menggambarkan Bandung yang romantis pada tahun
1990 bersama Dilan dan Milea. Selama membaca novel ini, aku tidak bisa berhenti
cengengesan dan merasa sangat bahagia karena berhasil memposisikan diriku
sebagai Milea, he he. Memang buku ini dari sudut pandang perempuan sangatlah
bagus dan romantis, perempuan mana yang tidak jatuh cinta dengan karakter
Dilan? Sedangkan dari sudut pandang lelaki, buku ini mengharuskan mereka–para
lelaki–untuk menjadi lebih romantis daripada Dilan, dengan cara mereka
masing-masing tentunya.
Baiklah, untuk kalian yang sedang rindu dengan Dilan dan Milea
atau ingin tahu seperti apakah Dilan, silakan dilihat beberapa kalimat Dilan
maupun percakapannya dengan Milea. Selamat jatuh cinta!
“Milea. Kamu cantik. Tapi, aku belum mencintaimu. Enggak tahu
kalau sore. Tunggu aja.”
“Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan
selamat tidur dari jauh. Kamu nggak akan denger.”
“Selamat ulang tahun, Milea. Ini hadiah untukmu, cuma TTS. Tapi sudah
kuisi semua. Aku sayang kamu. Aku tidak mau kamu pusing karena harus
mengisinya.”
“Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, Milea. Nanti,
besoknya, orang itu akan hilang!”
“Kalau kamu merasa tidak kuperhatikan, maaf. Akunya sibuk merhatiin
lingkunganmu. Barangkali ada orang mengganggumu, kuhajar dia!”
“Cemburu dong. Cemburu nggak?”
“Jangan. Nanti merepotkanmu.”
“Aku rindu. Boleh?”
“Rindu ke siapa?”
“Ke Dilan.”
“Sama.”
“Makasih.”
“Aku juga rindu… ke Dilan”
“Ih!”
“Jangan ketawa. Nanti laki-laki itu suka padamu. Ketawamu bagus.”
“Cemburu itu hanya untuk orang yang nggak percaya diri. Dan
sekarang aku sedang tidak percaya diri.”
“Aku pernah meramal kamu nanti akan naik motorku, Ingat?”
“Iya.”
“Bantu aku.”
“Bantu apa?”
“Mewujudkannya.”
“Tolong bilang ke ibumu. Aku mencintai anak sulungnya.”
“Tolong bilang juga ke Bunda. Terimakasih sudah melahirkan orang
yang aku cintai.”
“Mana tanganmu?”
“Kenapa?”
“Mau megang lagi.”
“Kamu bisa bilang ‘Aku sayang kamu’ kalau mau.”
“Ke siapa?”
“Ke aku.”
“He he he. Kamu dulu.”
“Ke siapa?”
“Ke aku, lah.”
“Bilang apa?”
“Aku sayang kamu.”
“Yaaa, sudah kamu duluin.”
“Milea 2”
Katakan sekarang
Kalau kue kau anggap apa dirimu?
Roti cokelat? Roti keju?
Martabak? Kroket?Bakwan?
Ayolah!
Aku ingin memesannya
untuk malam ini
Aku mau kamu
Dilan, Bandung 1990
Terima kasih Pidi Baiq atas Dilan yang luar biasa. Ia sosok yang
nakal namun tidak brengsek. Laki-laki yang bertanggung jawab, humoris, gigih,
berani, jujur akan perasaannya, berprinsip dan menghormati serta menyayangi
Ibunya dengan baik. Sungguh tidak salah kalau Milea pernah berkata, “Biar
bagaimanapun dia adalah Dilan, Dilanku, milikku. Dan sudah, aku tidak minta
apa-apa lagi.” Karena dengan Dilan, semua terasa sempurna.
“Dilan mungkin tidak paham dengan teori
bagaimana seorang lelaki harus memperlakukan wanita, tapi apa yang dia lakukan
selalu bisa membuat aku merasa istimewa dan lain daripada yang lain. Menjadi
wanita yang paling indah yang pernah kurasakan. Tanpa perlu berlebihan bagi dia
untuk membuat aku merasa lebih.”