Kamis, 05 Januari 2017

Review Buku: Jingga untuk Matahari - Esti Kinasih

Judul: Jingga untuk Matahari
Penulis: Esti Kinasih
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan pertama, Januari 2017
Tebal: 448 hlm, 20 cm
ISBN: 978-602-03-3723-4

“Dia khayal dalam nyata. Dia imajinasi dalam realita.”

Blurb:
Ari dan Tari menjalani hari-hari penuh pelangi. Tari bahagia karena ternyata Ari cowok lembut dan penuh perhatian. Sedangkan Ari gembira luar biasa ketika mendengar Ata dan Mama akhirnya kembali ke Jakarta.

Namun, tanpa Ari ketahui, selama ini Ata menyimpan kepedihan yang membuatnya bertekad melampiaskannya kepada Ari dan Papa. Saat itulah Ari menyadari ada “kisah” yang dia tidak tahu di antara papa dan mamanya.

Sementara itu, Tari mulai bingung menata hati. Karena pada saat rasa sayangnya untuk Ari semakin tumbuh, Angga muncul lagi dan “nembak” langsung. Sebenarnya, apa yang menjadi alasan Angga begitu dendam pada Ari dan bertekad merebut seseorang yang paling berharga darinya?

“Kalo lo ngincer cewek yang udah punya cowok, rebut dia di depan cowoknya. Jangan di belakang,” kalimat Ata itu terus terngiang di benak Angga.

Review:
I have a sudden burst of motivation to review Jingga untuk Matahari but I don’t know where to start. Serius, deh, novel Esti Kinasih yang satu ini meninggalkan gejolak yang nggak biasa setelah selesai dibaca. So much I could say yet I’m speechless and I feel so betrayed. Kenapa bisa sampai ngerasa betrayed? Mungkin salahku yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap Jingga untuk Matahari sehingga pada saat membaca dan tidak menemukan apa yang ingin kubaca, aku merasa sedikit kecewa.

I’m not saying the book was bad, no, no, Mbak Esti tetap memberikan yang terbaik di setiap novelnya hanya saja kali ini jalan ceritanya terkesan cukup lambat dan membosankan. But hey chill out,  membosankan di sini bukanlah sesuatu yang mutlak. Jingga Untuk Matahari masih memiliki bumbu-bumbu yang sama menariknya seperti Jingga dan Senja dan Jingga dalam Elegi. Diksi dan kehiperbolaan yang merupakan pembawaan khas Mbak Esti masih melekat pada JUM. Lalu, lelucon-lelucon sederhana yang dilontarkan setiap karakter pun cukup hidup sebagaimana Mbak Esti biasanya menyelipkan hal tersebut di novel-novelnya.

Nah, balik lagi ya. Aku merasa plot yang ada sedikit berbeda dari sinopsis serta bocoran-bocoran dari Mbak Esti 6 tahun yang lalu. Maybe that’s the reason why I wasn’t satisfied and began questioning right after I finish the book, “Lho, that’s it?” Aku mengharapkan momen-momen menggemaskan Ari dan Tari yang sayangnya jarang sekali muncul di Jingga untuk Matahari. Kisah romansa yang terjadi di antara kedua Matahari SMA Airlangga ini dapat dihitung dengan jari saking sedikitnya. Jika dibandingkan dengan Jingga dan Senja dan Jingga dalam Elegi, peran Tari dalam Jingga untuk Matahari sangatlah kecil.


Ari sering kali putus asa, tidak dimungkiri. Dia kerap nyaris menyerah, itu tidak terhitung lagi. Tapi kedua kakinya belum pernah sampai patah dan menyerah kalah. Ari bahkan akan menggenggam kuat-kuat jalinan benang yang paling rapuh jika dia yakin itu akan menuntunnya pada apa yang terus dia cari.


Di sisi lain, peran Ridho dan Oji sebagai sahabat Ari semakin menonjol dan meninggalkan kesan yang manis di Jingga untuk Matahari. Selain selalu berhasil membangkitkan mood pembaca lewat tingkah laku dan perkataan mereka yang tidak dapat ditebak, kali ini kita dapat melihat dengan lebih jelas bagaimana mereka memperlakukan dan menjaga satu sama lain. Kepedulian yang mereka tunjukkan terhadap kondisi Ari akan membuatmu tersentuh. Benar-benar tersentuh. Dan, tentu saja yang paling menonjol dalam Jingga untuk Matahari adalah sosok saudara kembar Ari yang selama ini telah terpisah selama 9 tahun lamanya. Siapa lagi kalau bukan Ata. Yha, Ata!


Ata tidak bicara, tapi tatapannya memberikan banyak kilasan makna. Kepedihan, amarah, sesal, dan keputusasaan. Semua berbaur tumpang tindih. Tapi kepahitanlah yang lebih terasa. Kemarahan yang kelam merayap seperti angin dingin. Tidak terlihat namun membekukan.


Bisa dibilang titik fokus yang ingin disampaikan Mbak Esti lewat JUM adalah Ata dengan masa lalunya yang kelam dan tekadnya di masa yang akan datang. Kehadiran Ata inilah yang membuat novel ketiga ini lebih dark dari sebelumnya. Aku merasa aura Matahari Senja yang selama ini sangat kukagum-kagumi mulai melemah semenjak kehadiran sosok Ata. Bukan karena aura tersebut diserap cuma-cuma oleh Ata, melainkan karena pribadi Ari yang perlahan mulai membaik seiring dengan kembalinya Matahari Jingga-nya. Bagus, sih, cuma di satu sisi aku merasa, “Ini bukan Ari banget.”


Karena keduanya begitu sama dan serupa. Karena keduanya adalah kontras. Ata yang seperti gelombang yang bergulung-gulung menghantam pantai, dan Ari yang tenang seperti aliran landai sebuah sungai.
                          

Surprisingly, aku baru menemukan sosok Ari yang sebenarnya sesaat setelah Ata ‘merangkul’ Angga bersamanya. Sinar yang dari halaman pertama kutunggu-tunggu keluar begitu saja dari dalam diri Ari. Musuh dari musuhku adalah temanku mungkin merupakan peribahasa yang sesuai dengan apa yang tengah direncanakan Ata sehingga ia mengikutsertakan Angga. Aliansi di antara keduanya pun tercipta guna memberikan Ari mimpi terburuk di dalam hidupnya.

Rrr, I guess, that’s it. Di review kali ini aku hanya ingin mengungkapkan pandanganku terhadap karakter-karakternya bukan jalan ceritanya. Kenapa? Karena aku sendiri kurang mendalami konflik yang disuguhkan. For me, they’ve gone round and round with the same arguments and they still have no solution. Jingga untuk Matahari ini sejenis teka-teki yang sampai babak akhir masih menjadi misteri. Jadi, silakan baca dan simpulkan sendiri untuk jalan ceritanya, ya! :)

Meskipun aku tidak se-amazed dengan Jingga untuk Matahari dan baru bisa memberikan 3 dari 5 bintang, aku masih excited menunggu kelanjutan kisah mereka. Well, yha, kisah Ari, Tari, dan Ata tidak berakhir dalam bentuk buku trilogi seperti yang dijanjikan di cuplikan Jingga dalam Elegi–melainkan masih ada buku keempat berupa Jingga untuk Sandyakala! Semoga saja nanti kita tidak perlu menunggu terlalu lama lagi, ya. 

Last but not least. Terima kasih untuk Mbak Esti yang telah mempertemukanku kembali dengan my very first fictional crush, Matahari Senja. After all these years, he’s still my favorite. I know, I’m typical Capricorn (yang setia dari zaman SMP sampai sekarang sudah kuliah!).


So, mind to share your thoughts about the book(s)? Just write what’s on your mind. I would love to know and talk to you about it. Thank you. I’m salsashf. I hope you guys are always healthy and don’t forget to be happy.


Continue reading

Senin, 25 Juli 2016

Review Buku: The Stolen Years - Ba Yue Chang An

Judul: The Stolen Years
Penulis: Ba Yue Chang An
Penerjemah: Jeanni Hidayat
Penerbit: Penerbit Haru
Terbit: Cetakan pertama, Januari 2016
Tebal: 348 hlm; 20 cm
ISBN: 978-602-7742-66-6

“Cinta memang masalah yang rumit dan membingungkan. Intinya cuma satu, apakah kau mencintainya?”

Blurb:
Benarkah waktu dapat mengikis perasaan cinta?

Hal terakhir yang diingat He Man adalah ia sedang berbulan madu dengan suaminya, Xie Yu. Namun, tiba-tiba gadis itu terbangun di rumah sakit dan sudah bercerai. He Man mengalami amnesia dan lupa akan lima tahun terakhirnya.

Ia tidak mengerti mengapa ia bisa bercerai dari Xie Yu padahal mereka saling mencintai. Ia tidak mengerti mengapa sahabatnya sekarang malah menjadi musuhnya. Ia tidak mengerti mengapa seakan semua orang membencinya.

Ketika He Man berusaha mengumpulkan kembali kenangan dan ingatannya, ia mulai menemukan hal-hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya

Review:
Dulu, aku pernah memikirkan bagaimana sih rasanya menjadi seseorang yang mengalami amnesia disosiatif. Bukankah sangat baik untuk tidak mengetahui apa saja peristiwa traumatik yang sudah terjadi di masa lalu? Kita seperti terlahir kembali tanpa masalah-masalah yang selama ini pernah menghantui.

In fact, it’s not that simple. Dalam novel The Stolen Years, He Man mengalami hilang ingatan jangka pendek. Memori terakhir yang dimilikinya adalah bulan madu yang sangat menyenangkan bersama Xie Yu, suaminya. Mengendarai motor, menikmati angin malam, dan tidak sengaja menabrak pohon. Namun, saat He Man terbangun dari tidur panjangnya, ia dikejutkan dengan kenyataan bahwa kejadian tersebut merupakan kejadian lima tahun yang lalu.

He Man tidak pernah mengira kasus hilang ingatan yang ia kira cuma akan terjadi di novel atau adegan drama tengah menimpa dirinya. Belum sempat memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam otaknya, He Man harus menerima berbagai macam kenyataan pahit mulai dari perceraiannya dengan Xie Yu, hubungan persahabatannya dengan Xiao Huan yang kandas, dan kenyataan bahwa Xie Yu telah memiliki seorang kekasih.

Salah satu cara yang dapat membantu untuk memulihkan kembali ingatan He Man adalah rutin berhubungan dengan keluarga dekat, teman, ataupun orang yang mengenal baik masa lalunya. Dengan harapan dapat mengumpulkan kembali kepingan-kepingan memori yang hilang, He Man pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya yang ‘sebenarnya’, di mana ia dan Xie Yu tinggal bersama.

Lambat laun, satu per satu kebenaran tentang dirinya lima tahun belakangan terungkap dan membuat He Man tidak habis pikir. Bagaimana bisa ‘He Man yang dulu’ yang begitu manja, keras kepala, dan bersemangat menjadi sosok yang mengerikan–‘He Man yang sekarang’.


“Seberapa besarkah kemampuan manusia untuk dapat menerima suatu kenyataan hidup? Hanya orang yang pernah terluka begitu parahnya yang akan bisa mengerti. Asalkan masih hidup, kita pasti bisa melalui apa pun yang akan terjadi selanjutnya.”


The Stolen Years merupakan M-Novel pertama yang kubaca. Tidak kusangka akan sangat menikmati gaya penulisan yang dibawakan Ba Yue Chang An: pelan, ringkas, dan jelas. Selain gaya penulisan yang nyaman diikuti–setiap bab berisikan beberapa sub-bab yang terdiri dari dua sampai lima halaman–aku sangat menikmati bahasa terjemahan oleh Jeanni Hidayat yang smooth dan mudah dipahami.

Yang kusukai dari novel The Stolen Years adalah alur campuran yang dibawakan penulis sangat rapi. Cerita bergerak maju yang kemudian menampilkan beberapa potongan flashback yang menjelaskan latar belakang cerita. Aku sama sekali tidak merasa kesulitan dalam membaca novel ini, bahkan alur yang digunakan sangat mendukungku untuk memahami perkembangan karakter Xie Yu dan He Man.

Aku sangat senang mengikuti perkembangan karakter Xie Yu, dia benar-benar karakter favoritku. Kepedulian dan kasih sayangnya terhadap He Man sangat tulus. Bagaimana ia memanfaatkan kesempatan kedua dalam hubungannya dengan He Man sangat mengharukan. Selain Xie Yu, ada Xiao Huan karakter pendukung yang menjadi favoritku. Dia adalah sosok sahabat yang luar biasa!


“Kesungguhan cinta bisa dilihat saat mereka menemui cobaan dalam kehidupan.”


“Kau akan jatuh sakit kalau begitu terus. Memaksa diri untuk tetap tersenyum walaupun hatimu sedih… bukankah itu sangat menyedihkan? Kau harus belajar untuk melampiaskan emosimu.”


“Yang lalu biarlah berlalu. Semarah apa pun aku saat itu dan seberapa pun merasa bersalahnya kau kepadaku, itu tidak akan mengubah apa-apa. Hanya saja, waktu bertemu denganmu tadi, aku sadar diriku masih ingin menjadi sahabatmu. Ingin selamanya menjadi teman baikmu…”


Hal lain yang kusukai dari novel ini adalah konflik rumah tangga yang terjadi merupakan permasalahan yang sering kali kita jumpai di kehidupan nyata. Sangat realistis. Xie Yu sebagai seorang suami kehilangan kepercayaan terhadap pernikahannya setelah istrinya memiliki posisi yang lebih tinggi di perusaahan. Xie Yu pun semakin kacau setelah He Man berubah menjadi pribadi yang angkuh, dingin, dan sangat disiplin.

Memang benar, mempertahankan lebih sulit daripada mendapatkan. Hubungan Xie Yu dan He Man yang awalnya sangat manis dan menyenangkan perlahan mulai pudar karena keegoisan masing-masing. Mereka seakan-akan lupa bahwa dalam membangun sebuah hubungan, kita tidak hanya sekadar bermodalkan saling mencintai, namun juga saling mendukung dan memberikan rasa nyaman satu sama lain.


Inikah rasanya kekecewaan? Seolah sebuah hati yang hancur lebur bisa terlihat dengan begitu jelas; seakan langit mendadak menjadi gelap?
Suatu kekecewaan yang terlalu dalam…
Umumnya, manusia malah tidak menangis ketika merasakannya.”


Selama membaca The Stolen Years, aku merasa emosiku dipermainkan oleh penulis. Turun-naik bagaikan menaiki wahana roller coaster yang tidak kuketahui kapan akan berhenti, juga manis, asam, dan asin bagaikan permen nano-nano. Bagaimana tidak, di saat kukira ceritanya akan berakhir dengan bahagia, penulis kembali mengguncangku dengan sebuah kejutan terakhir yang sangat tiba-tiba. Saking unpredictable-nya plot twist yang digunakan penulis, aku sampai tidak kuasa menahan tangis. Terutama bagian ending-nya yang ah, sudahlah. Benar-benar sudahlah.

Setelah selesai membaca, aku langsung tertarik untuk menonton filmnya untuk membandingkan serta berharap mendapatkan ending yang lebih memuaskan. (FYI: Kisah The Stolen Years ini awalnya adalah sebuah skenario film yang kemudian dibukukan.) Kalau aku menangis sesenggukan di bagian akhir novelnya, aku menangis semenangis-nangisnya dari bagian tengah sampai akhir filmnya–mungkin karena aku sudah tahu ke mana arah ceritanya. Dibanding novelnya, ending di dalam film lebih detail dan ternyata aku lebih memilih ending yang ada pada novel.


“Cinta akan selamanya hidup di dalam ingatan manusia, akan menancapkan akarnya dengan kuat di dalam otak manusia. Selalu menunggu kehadiran kekasih yang dicintainya.”


Dan guys, you have no idea how much I love the book! Plot, karakter, dan pesan-pesan yang ada tersampaikan dengan baik oleh penulis. Gaya penulisan yang nyaman dibaca, pemilihan kata dari penerjemah yang ringan dan tepat, serta cover-nya yang sangat manis dan terkesan teduh merupakan rangkaian nilai tambahan untuk novel yang satu ini. Without a doubt, I’m giving five big stars for a sad beautiful tragic love affair between Xie Yu and He Man!


Continue reading

Minggu, 10 Juli 2016

Review Buku: Jakarta Sebelum Pagi - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Judul: Jakarta Sebelum Pagi
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: PT Grasindo
Terbit: Mei, 2016
Tebal: 280 hlm
ISBN: 978-602-375-484-7

“Jakarta is a weird place, and it gets creepier by the day.”

Blurb:
“Jam tiga dini hari, sweter, dan jalanan yang gelap dan sepi .... Ada peta, petunjuk; dan Jakarta menjadi tempat yang belum pernah kami datangi sebelumnya.”

Mawar, hyacinth biru, dan melati. Dibawa balon perak, tiga bunga diantar setiap hari ke balkon apartemen Emina. Tanpa pengirim, tanpa pesan; hanya kemungkinan adanya stalker mencurigakan yang tahu alamat tempat tinggalnya.

Ketika–tanpa rasa takut–Emina mencoba menelusuri jejak sang stalker, pencariannya mengantarkan dirinya kepada gadis kecil misterius di toko bunga, kamar apartemen sebelah tanpa suara, dan setumpuk surat cinta berisi kisah yang terlewatkan di hadapan bangunan-bangunan tua Kota Jakarta.

Review:

I didn’t expect to enjoy Jakarta Sebelum Pagi as much as I do. Bahkan, aku sempat mengalami kesulitan dalam memahami gaya bahasa yang digunakan–well, mungkin karena Jakarta Sebelum Pagi merupakan novel pertama Ziggy yang kubaca. Kalimat pertama pada bagian prolog dalam novel ini sudah cukup untuk membuatku tersedak. Wah, pembukaan macam apa ini, pikirku.  Tapi, seiring berjalannya cerita, aku mulai menikmati kisah yang disuguhkan penulis.


Kabarnya, orang-orang, kalau sudah dewasa, biasanya mau coba hidup mandiri. Setelah itu, mereka sadar kalau hidup mandiri itu membosankan, menyebalkan, dan merepotkan.


Jakarta Sebelum Pagi
 mengisahkan Emina yang tengah mencari tahu stalker yang setiap hari menerbangkan balon perak ke depan balkon apartemennya. Meski sudah diperingatkan oleh sahabatnya, Nissa, untuk tidak mencari tahu siapa di balik sosok tersebut, Emina yang memiliki tingkat curiosity yang cukup tinggi tetap melakukan pencariannya sendirian.

Pencariannya mengantarkan dirinya kepada gadis kecil bernama Suki. Dari semua perbincangan yang terjadi dengannya, Emina mendapatkan informasi bahwa stalker yang selama ini selalu mengetahui gerak-geriknya, ternyata tinggal di sebelah apartemennya. Tanpa berpikir panjang apa yang akan dihadapinya, Emina memutuskan untuk menemui stalker tersebut.

Setelah pertemuan pertama yang tidak menyenangkan antara Emina dan Abel–nama dibalik sosok stalker–, juga Suki yang datang tiba-tiba, mereka menjadi dekat satu sama lain. Petualangan sederhana mengunjungi bangunan-bangunan tua di tengah dinginnya Kota Jakarta sebelum pagi hari pun tercipta lewat setumpuk surat cinta–yang mereka sendiri tidak tahu siapa penulisnya.

Bersama-sama, mereka belajar untuk melawan rasa sakit. Bersama-sama, mereka belajar untuk menentukan pilihan yang tepat untuk hidup mereka; untuk mereka sendiri, bukan orang lain. Bersama-sama, mereka memecahkan misteri yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.


Bukannya menemukan orang yang bersedia menghabiskan waktu untuk mendengarkan kamu itu lebih penting daripada memaksakan diri untuk dilihat orang yang bahkan nggak peduli?


Lagian, rasanya bego kalau terus-terusan sedih, padahal ada banyak yang harus dilakukan dan ada banyak makanan enak.


Tapi, kita semua merasa sedih, kadang-kadang. Bukan karena terjebak di masa lalu, tapi karena kita perlu merasa sedih, kadang-kadang.



Unik dan misterius adalah dua kata yang menurutku pantas mendeskripsikan novel ini. Mulai dari alur, setting, sampai penokohannya tergolong sangat tidak biasa–tidak umum seperti novel-novel yang pernah kubaca. Tema yang diangkat juga tidak biasa dan cukup asing untuk sebagian orang–pengetahuan-pengetahuan yang diselipkan penulis cukup langka–I didn’t even know that such things exist. Meskipun demikian, setting tempat yang ada pada novel ini cukup membuatku merasa dekat. Jakarta and how fucked up that city has gotten.

Pada Jakarta Sebelum Pagi, penulis tidak secara jelas menjelaskan karakter-karakternya, juga latar tempat dan suasananya. Tapi hebatnya, aku tetap menikmati keseluruhan isi cerita tanpa merasa terganggu dengan hal-hal tersebut. Justru penulis seakan-akan memiliki magnet tersendiri yang membuat pembaca bisa mengagumi karakter-karakternya tanpa perlu diberikan gambaran lebih jelas.

Karakter-karakternya unik–seperti yang aku bilang, tidak umum–, memiliki rahasia dan peran-peran masing, serta pemikiran mereka sangat out of the box. Menurutku, pemikiran yang mereka sampaikan melalui interaksi satu sama lain sangat cerdas. Di sini, aku dibuat gemas dengan karakter Suki. I feel like I want to hug her tight.


Kenapa harus repot-repot mencemaskan apa yang akan terjadi di masa depan, kalau yang paling penting adalah sekarang–saat ini?


Berbicara tentang kelebihan dan kekurangan, kelebihan yang ada pada Jakarta Sebelum Pagi adalah pemilihan kata oleh penulis. Santai, tidak puitis, tapi tepat sasaran. Keunikan yang dibungkus melalui kisah-kisah misterius yang tragis, juga petualangan singkat yang hadir pada dini hari menjadikan sesuatu yang baru untuk dinikmati. Aku juga suka dengan pemilihan font pada judul, lucu. Ilustrasi-ilustrasi yang menghiasi beberapa halaman juga sangat cantik.

Untuk kekurangan sendiri terletak pada cover yang sangat mirip dengan novel I’ll Give You The Sun karya Jandy Nelson, sangat disayangkanLalu, masih ada beberapa typo seperti kata CHina (hlm. 48), berpikr (hlm. 61), mrmelotot (hlm. 104), dll. Semoga di cetakan berikutnya bisa lebih baik lagi.

Overall, aku merekomendasikan Jakarta Sebelum Pagi untuk kalian yang menginginkan bacaan yang berbeda. Setelah ini, aku mungkin akan berburu karya-karya Ziggy yang lain. Untuk Aminah, eh, Emina, aku kasih 4 dari 5 bintang dulu ya!


Jangan pernah membaca karena ingin dianggap pintar; bacalah karena kamu mau membaca, dan dengan sendirinya kamu akan jadi pintar.


Salah satu potongan surat cinta favoritku:
Dan kau, sayangku, telah hancur dan berubah menjadi sesuatu yang dingin dan baru. Sementara saya telah ditinggalkan. Dan, dirimu yang dulu–berkas-berkas ingatan mengenai dirimu yang pernah ada–semakin dicintai oleh orang bodoh yang kau tinggalkan ini.


Continue reading