Penulis: Esti Kinasih
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan pertama, Januari 2017
Tebal: 448 hlm, 20 cm
ISBN: 978-602-03-3723-4
“Dia khayal dalam nyata. Dia imajinasi dalam realita.”
Blurb:
Ari dan Tari menjalani hari-hari penuh pelangi. Tari bahagia karena ternyata Ari cowok lembut dan penuh perhatian. Sedangkan Ari gembira luar biasa ketika mendengar Ata dan Mama akhirnya kembali ke Jakarta.
Namun, tanpa Ari ketahui, selama ini Ata menyimpan kepedihan yang membuatnya bertekad melampiaskannya kepada Ari dan Papa. Saat itulah Ari menyadari ada “kisah” yang dia tidak tahu di antara papa dan mamanya.
Sementara itu, Tari mulai bingung menata hati. Karena pada saat rasa sayangnya untuk Ari semakin tumbuh, Angga muncul lagi dan “nembak” langsung. Sebenarnya, apa yang menjadi alasan Angga begitu dendam pada Ari dan bertekad merebut seseorang yang paling berharga darinya?
“Kalo lo ngincer cewek yang udah punya cowok, rebut dia di depan cowoknya. Jangan di belakang,” kalimat Ata itu terus terngiang di benak Angga.
Review:
I have a sudden burst of motivation to review Jingga untuk Matahari but I don’t know where to start. Serius, deh, novel Esti Kinasih yang satu ini meninggalkan gejolak yang nggak biasa setelah selesai dibaca. So much I could say yet I’m speechless and I feel so betrayed. Kenapa bisa sampai ngerasa betrayed? Mungkin salahku yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi terhadap Jingga untuk Matahari sehingga pada saat membaca dan tidak menemukan apa yang ingin kubaca, aku merasa sedikit kecewa.
I’m not saying the book was bad, no, no, Mbak Esti tetap memberikan yang terbaik di setiap novelnya hanya saja kali ini jalan ceritanya terkesan cukup lambat dan membosankan. But hey chill out, membosankan di sini bukanlah sesuatu yang mutlak. Jingga Untuk Matahari masih memiliki bumbu-bumbu yang sama menariknya seperti Jingga dan Senja dan Jingga dalam Elegi. Diksi dan kehiperbolaan yang merupakan pembawaan khas Mbak Esti masih melekat pada JUM. Lalu, lelucon-lelucon sederhana yang dilontarkan setiap karakter pun cukup hidup sebagaimana Mbak Esti biasanya menyelipkan hal tersebut di novel-novelnya.
Nah, balik lagi ya. Aku merasa plot yang ada sedikit berbeda dari sinopsis serta bocoran-bocoran dari Mbak Esti 6 tahun yang lalu. Maybe that’s the reason why I wasn’t satisfied and began questioning right after I finish the book, “Lho, that’s it?” Aku mengharapkan momen-momen menggemaskan Ari dan Tari yang sayangnya jarang sekali muncul di Jingga untuk Matahari. Kisah romansa yang terjadi di antara kedua Matahari SMA Airlangga ini dapat dihitung dengan jari saking sedikitnya. Jika dibandingkan dengan Jingga dan Senja dan Jingga dalam Elegi, peran Tari dalam Jingga untuk Matahari sangatlah kecil.
Ari sering kali putus asa, tidak dimungkiri. Dia kerap nyaris menyerah, itu tidak terhitung lagi. Tapi kedua kakinya belum pernah sampai patah dan menyerah kalah. Ari bahkan akan menggenggam kuat-kuat jalinan benang yang paling rapuh jika dia yakin itu akan menuntunnya pada apa yang terus dia cari.
Di sisi lain, peran Ridho dan Oji sebagai sahabat Ari semakin menonjol dan meninggalkan kesan yang manis di Jingga untuk Matahari. Selain selalu berhasil membangkitkan mood pembaca lewat tingkah laku dan perkataan mereka yang tidak dapat ditebak, kali ini kita dapat melihat dengan lebih jelas bagaimana mereka memperlakukan dan menjaga satu sama lain. Kepedulian yang mereka tunjukkan terhadap kondisi Ari akan membuatmu tersentuh. Benar-benar tersentuh. Dan, tentu saja yang paling menonjol dalam Jingga untuk Matahari adalah sosok saudara kembar Ari yang selama ini telah terpisah selama 9 tahun lamanya. Siapa lagi kalau bukan Ata. Yha, Ata!
Ata tidak bicara, tapi tatapannya memberikan banyak kilasan makna. Kepedihan, amarah, sesal, dan keputusasaan. Semua berbaur tumpang tindih. Tapi kepahitanlah yang lebih terasa. Kemarahan yang kelam merayap seperti angin dingin. Tidak terlihat namun membekukan.
Bisa dibilang titik fokus yang ingin disampaikan Mbak Esti lewat JUM adalah Ata dengan masa lalunya yang kelam dan tekadnya di masa yang akan datang. Kehadiran Ata inilah yang membuat novel ketiga ini lebih dark dari sebelumnya. Aku merasa aura Matahari Senja yang selama ini sangat kukagum-kagumi mulai melemah semenjak kehadiran sosok Ata. Bukan karena aura tersebut diserap cuma-cuma oleh Ata, melainkan karena pribadi Ari yang perlahan mulai membaik seiring dengan kembalinya Matahari Jingga-nya. Bagus, sih, cuma di satu sisi aku merasa, “Ini bukan Ari banget.”
Karena keduanya begitu sama dan serupa. Karena keduanya adalah kontras. Ata yang seperti gelombang yang bergulung-gulung menghantam pantai, dan Ari yang tenang seperti aliran landai sebuah sungai.
Surprisingly, aku baru menemukan sosok Ari yang sebenarnya sesaat setelah Ata ‘merangkul’ Angga bersamanya. Sinar yang dari halaman pertama kutunggu-tunggu keluar begitu saja dari dalam diri Ari. Musuh dari musuhku adalah temanku mungkin merupakan peribahasa yang sesuai dengan apa yang tengah direncanakan Ata sehingga ia mengikutsertakan Angga. Aliansi di antara keduanya pun tercipta guna memberikan Ari mimpi terburuk di dalam hidupnya.
Rrr, I guess, that’s it. Di review kali ini aku hanya ingin mengungkapkan pandanganku terhadap karakter-karakternya bukan jalan ceritanya. Kenapa? Karena aku sendiri kurang mendalami konflik yang disuguhkan. For me, they’ve gone round and round with the same arguments and they still have no solution. Jingga untuk Matahari ini sejenis teka-teki yang sampai babak akhir masih menjadi misteri. Jadi, silakan baca dan simpulkan sendiri untuk jalan ceritanya, ya! :)
Meskipun aku tidak se-amazed dengan Jingga untuk Matahari dan baru bisa memberikan 3 dari 5 bintang, aku masih excited menunggu kelanjutan kisah mereka. Well, yha, kisah Ari, Tari, dan Ata tidak berakhir dalam bentuk buku trilogi seperti yang dijanjikan di cuplikan Jingga dalam Elegi–melainkan masih ada buku keempat berupa Jingga untuk Sandyakala! Semoga saja nanti kita tidak perlu menunggu terlalu lama lagi, ya.
Last but not least. Terima kasih untuk Mbak Esti yang telah mempertemukanku kembali dengan my very first fictional crush, Matahari Senja. After all these years, he’s still my favorite. I know, I’m typical Capricorn (yang setia dari zaman SMP sampai sekarang sudah kuliah!).
Last but not least. Terima kasih untuk Mbak Esti yang telah mempertemukanku kembali dengan my very first fictional crush, Matahari Senja. After all these years, he’s still my favorite. I know, I’m typical Capricorn (yang setia dari zaman SMP sampai sekarang sudah kuliah!).
So, mind to share your thoughts about the book(s)? Just write what’s on your mind. I would love to know and talk to you about it. Thank you. I’m salsashf. I hope you guys are always healthy and don’t forget to be happy.