Judul: The Architecture of Love
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2016
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-2926-0
But we are all strangers
to one another until we find something that connects us, right?
Blurb:
New York mungkin berada di urutan teratas daftar
kota yang paling banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film
Hollywood, mulai dari Nora Ephron's You've Got Mail hingga Martin Scorsese's
Taxi Driver, New York bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai
"karakter" yang menghidupkan cerita.
Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar
inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun.
Raia menjadikan setiap sudut New York
"kantor"-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia
mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan
dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua
detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap
hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang
memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang
mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan
rahasia yang tak pernah dia duga.
Review:
You know you’ve read a good
book when you turn the last page and feel a little as if you have lost a
friend–that’s how I feel every time I finish Ika Natassa’s books. Sukses dengan A Very Yuppy Wedding (2007), Divortiare (2008), Antologi
Rasa (2011), Twivortiare (2012), Twivortiare
2 (2014), Critical Eleven (2015), dan Underground (2016),
Ika Natassa kembali melahirkan sebuah novel yang disambut hangat oleh para
pembacanya yaitu The Architecture of Love.
Pada Twivortiare,
Ika membuat novel dengan konsep Twitter di mana cerita yang
disampaikan berasal dari kumpulan tweets, kali ini Ika
menghidangkan The Architecture of Love dengan konsep yang juga
tidak biasa. Dia memanfaatkan fitur Twitter Poll dengan mengajak
pembaca yang juga followers Twitter-nya untuk ikut serta menentukan
alur cerita dari awal sampai ending.
Terdengar unik, bukan? Sama
seperti novel-novel sebelumnya, Ika Natassa tidak pernah tidak mengecewakan
pembaca. Meskipun pada Twitter Poll pembaca ikut serta dalam
menentukan kejadian-kejadian yang akan terjadi, Ika mampu membungkus cerita ini
dengan sangat baik, ia mengembangkan sebuah ide sederhana menjadi sesuatu yang
tidak dapat kita tebak akan mengarah ke mana.
Kisah ini dimulai saat Raia
menghadiri pesta pergantian tahun bersama sahabatnya, Erin, di apartemen Aga.
Sesaat setelah teriakan penanda tahun baru terdengar, Raia yang memisahkan diri
dari kerumunan tidak sengaja bertemu dengan seorang lelaki di sebuah ruangan
yang gelap. Sweater abu-abu, celana jins, dan kaus kaki hijau. Laki-laki dengan
sorot mata tajam yang tidak Raia ketahui namanya tersebut berhasil mengusik
rasa penasaran yang ada di dalam dirinya.
“Tapi Tuhan punya cara-Nya
sendiri untuk mempertemukan dan memisahkan, menjauhkan dan mendekatkan, yang
tidak pernah bisa kita duga-duga.”
Tidak pernah Raia sangka, di
tengah keramaian Wollman Skating Rink, dia kembali dipertemukan dengan lelaki
berkaus kaki hijau. Namun, kali ini Raia beruntung untuk mengetahui nama lelaki
tersebut. River. The coolest name she has ever heard. And the
coolest guy she has ever meet.
Pertemuan kedua River dan Raia
pada siang itu adalah awal dari petualangan mereka mengelilingi New York. River
berkeliling untuk mengunjungi tempat di mana ia bisa menggambar dan Raia ikut
berkeliling bersama River untuk mencari inspirasi menulis. Semakin lama
menghabiskan waktu bersama River, Raia sadar bahwa laki-laki misterius itu
memiliki kesamaan dengan dirinya–mereka memiliki at least one secret
that will break people heart.
“Because you’re as lost as I
am, Raia. And in a city this big, it hurts less when you’re not lost alone.”
Sejauh ini, membaca novel-novel
Ika Natassa dari Critical Eleven–novel Ika yang pertama kali
kubaca–sampai The Architecture of Love, aku masih saja jatuh
cinta dengan bahasa yang digunakan. Sederhana, jujur, dan mengalir begitu saja.
Tidak hanya berhasil membuat pembaca terkagum-kagum sampai baper dengan
karakter-karakternya yang too-good-to-be-true, menurutku Ika juga
berhasil membuat cerita yang membawa siapa saja yang membaca karyanya ikut
hadir di tengah-tengah cerita tersebut lewat tulisan-tulisannya yang sangat
nyata. Bagaimana Ika menjelaskan sesuatu, apa pun itu, sangatlah detail dan
tidak setengah-setengah.
Dalam The Architecture
of Love, kita diajak Ika mengelilingi New York bersama River dan Raia,
mengunjungi gedung-gedung serta tempat-tempat yang menarik. Di sini, Ika dengan
sangat baik menjelaskan detail demi detail tempat
yang dikunjungi oleh River dan Raia. Whispering Gallery, Flatiron
Building, New York Public Library, sampai Paley Park yang
sangat menarik perhatianku. Oh, I wish there could be a place like that
in my city.
Dengan River kita diajak untuk
mengunjungi gedung-gedung yang menjadikan sosoknya yang dingin terlihat berbeda
di mata Raia. River dengan penuh semangat menjelaskan setiap detail serta
sejarah dari tempat yang mereka kunjungi. Kalau kata Raia, “Siapa
pun yang sedang bercerita dengan semangat tentang sesuatu yang menjadi
passion-nya memang entah bagaimana selalu terlihat seksi,” Sedang
dengan Raia, penulis best-seller yang mengekor River pergi
menggambar untuk mencari inspirasi, kita diajari untuk menulis cerita karena
kita cinta menulis, menulis kisah karena ada yang ingin kita ceritakan, bukan
karena sebuah popularitas.
Sungguh perpaduan yang sangat
menarik, memadukan seorang arsitek dan penulis yang sama-sama mencintai passion-nya
dan juga sama-sama berusaha menjalani hidup dengan bayang-bayang masa lalu.
Ya, The Architecture of Love adalah novel yang menceritakan
bagaimana seseorang bangkit dari keterpurukan dengan menekuni apa yang mereka
cintai sampai mendapatkan kembali siapa yang pantas mereka cintai.
Beberapa pembaca ada yang
menanyakan apakah sebelum membaca The Architecture of Love harus
membaca novel-novel tertentu–seperti membaca Twivortiare yang
harus membaca Divortiare terlebih dahulu–well, jawabannya
tidak. The Architecture of Love ini memiliki cerita
tersendiri, hanya saja tokoh Raia Risjad masih berhubungan dengan kedua lelaki
yang sampai sekarang masih menarik hati pembaca setia Ika Natassa, siapa lagi
kalau bukan kakak beradik, Ale dan Harris Risjad.
Untuk kalian yang sudah pernah
membaca Antologi Rasa dan Critical Eleven, serta
masih tergila-gila dengan kedua lelaki tersebut, surprise! Yeah. Kalian
bakalan melepas rindu dengan mereka di novel ini. Apa peran mereka? Well,
cari tahu sendiri, ya! Yang pasti tingkah mereka kalau lagi ngumpul-ngumpul
benar-benar menggemaskan. Terutama untuk orang sepertiku yang masih
jatuh cinta dengan sosok Aldebaran Risjad. Maaf, ya, River, Ale still
holds a special place in my heart.
Untuk cerita yang diangkat
pada The Architecture of Love tergolong sederhana
dibandingkan Critical Eleven dan konflik yang disuguhkan pun
tidak terlalu berat seperti novel-novel Ika yang lain. The Architecture
of Love hanyalah sebuah novel sederhana yang mengisahkan dua manusia
di masa pelarian mereka yang kemudian dihubungkan oleh gedung-gedung yang
mereka datangi untuk menjemput inspirasi.
Menurutku, The
Architecture of Love adalah bacaan yang cukup ringan dan manis, sangat
manis. Ika menggambarkan tokoh River dan Raia yang seakan-akan kembali jatuh
cinta layaknya sepasang anak SMA. Bagaimana Raia menggoda River dengan sebutan
Bapak Sungai dan River yang senang sekali menggoda Raia dengan jurus Tom &
Jerry-nya. Seperti yang aku bilang, manis, sangat manis.
Di dalam novel ini, Ika
berkali-kali mengulang sebuah kalimat sederhana yang entah mengapa terdengar
luar biasa. Luar biasa menenangkan. Luar biasa menyakitkan. Luar biasa
membingungkan.
“Disayangi itu
menyenangkan, Riv.”
Ah, boleh aku ulang
lagi? Disayangi itu menyenangkan, Riv. Kalimat tersebut dilontarkan oleh Paul, sahabat River, yang
membuatku sama berpikirnya dengan River.
Memang bukan Ika Natassa
namanya kalau tidak berhasil memberi pembaca asupan-asupan berupa
kalimat-kalimat yang quoteable. Banyak sekali kalimat-kalimat
sederhana yang menurutku sangat realistis di dalam novel ini. Kalimat-kalimat
yang membuat hati siapa pun yang membaca ikut tergerak dan tersadar bahwa
hal-hal tersebut juga sering terjadi di kehidupan kita.
Overall, aku senang sekali dengan The Architecture of Love dan
memberikan novel ini 4 dari 5 bintang! Kalau kalian penikmat novel-novel Ika
Natassa atau baru membaca beberapa dari novelnya, kalian tetap tidak boleh
melewatkan novel yang satu ini. Kapan lagi bisa keliling New York ditemani
seorang arsitek dan penulis yang berhasil mengajari kita melihat New York
dengan cara mereka masing-masing?
“People say that Paris is the
city of love, but for Raia, New York deserves the title more. It’s impossible
not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in
love in the city.”
***
Terima kasih sudah berkunjung! Selamat menikmati The
Architecture of Love ditemani Raia dan River selaku Raia's
Private Guide Tour. Sampai jumpa di postingan selanjutnya, ya! Semoga di
lain waktu kita juga bisa menikmati New York dan melihatnya dengan cara kita
sendiri.
The Arcitecture of Love, Ika Nattasa. Gue mulai menyukai karya-karya ika sejak gue membaca Critical Eleven. Membaca karya nya membuat gue larut dalam alur dan gaya bahasa metro pop nya asik.
BalasHapusHmmm, pengen lah waktu itu mau PO juga, tapi lihat kantong gak ada duit. Yah moga-moga aja akhir ramadhan menjelang idul fitri, buku ini udah ada di gramedia padang ^^
Nice blog dan salam kenal! :)
Wah, sama! Aku pertama kali baca Critical Eleven dan langsung berburu novel-novel Ika yang lain. Well, semoga cepat kebeli ya, soalnya menurutku buku ini a must-read buat yang sudah baca CE. Terima kasih sudah mampir ke sini ya!
Hapusini buku kedua setelah antologi rasa yang saya baca hehe salam kenal ya http://www.reviewdansinopsis.com/
BalasHapus