Judul: HUJAN
Penulis: Tere
Liye
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2016
Tebal: 320 hlm
Apa yang
terjadi, jika hujan tidak pernah turun lagi? Apa yang terjadi, jika kamu tidak
mengingatku lagi? Seperti orang-orang yang lupa tentang hujan?
Blurb:
Tentang persahabatan.
Tentang cinta.
Tentang perpisahan.
Tentang
melupakan.
Tentang
hujan.
Review:
“Lail, kamu tahu kenapa kita
mengenang banyak hal saat hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan.
Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan
menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai
dengan sendirinya.”
Cerita
yang diangkat pada novel Hujan mengingatkanku dengan film Eternal
Sunshine of The Spotless Mind di mana Clementine–sang tokoh utama
wanita dalam film tersebut–memutuskan untuk pergi ke Lacuna Inc. yang merupakan
jasa penghapusan memori untuk menghapus semua kenangannya bersama seseorang
yang pernah penting di dalam hidupnya.
Sama
halnya dengan Lail, wanita berusia 21 tahun yang ada pada novel Hujan.
Ia memutuskan untuk pergi ke Pusat Terapi Saraf untuk menghilangkan ingatannya
tentang Esok–lelaki yang tidak pernah ia sangka akan sangat berpengaruh di
dalam hidupnya.
Esok
adalah nama anak laki-laki yang memegang tas punggungnya di lubang tangga
darurat kereta bawah tanah saat gempa besar sedang terjadi. Anak laki-laki yang
menjemputnya sebelum hujan asam turun. Anak laki-laki yang menjadi teman
baiknya selama di tenda pengungsian. Anak laki-laki dengan sepeda merah
kebanggaannya yang membuatnya merasakan cinta.
Hujan berisikan 32 bab tentang alur kehidupan Lail sejak ia masih
seorang gadis kecil berusia 13 tahun, mulai dari saat ia harus kehilangan kedua
orangtuanya karena sebuah bencana alam, bertemu dan menjalani hari demi hari
bersama Esok, bertemu dengan seorang teman baru yang sangat periang, sampai
rasa cemburu yang mulai ia rasakan saat melihat orang yang ia sukai bersama
perempuan lain.
Pada
bab-bab awal, aku merasa cerita Tere Liye yang satu ini cukup datar dan tidak
terlalu membawa emosi kita naik-turun. Tere Liye lebih memfokuskan dengan
aktivitas yang dihabiskan Lail bersama Maryam–teman sekamarnya. Tapi, lagi-lagi
Tere Liye selalu bisa membuat kita penasaran dan tercengang. Bayangkan saja,
novel ini menggunakan latar tahun 2042–2050 dengan segala kecanggihan teknologi
yang ada. Beberapa teknologi yang dijelaskan oleh Tere Liye di novel ini
mengingatkanku dengan beberapa film seperti Back to The Future,
Tomorrowland, atau bahkan TV Series: The Flash–saat mereka
berada di Earth 2.
Di
novel ini selain bertemu dengan Lail dan Esok, kalian juga akan bertemu Maryam–gadis
kecil yang periang dan penuh semangat. Lail sangat bersyukur bertemu dengan
Maryam dengan segala tingkah lakunya yang menyenangkan sehingga mampu membuat
hari-hari Lail menjadi lebih baik–terlepas dari tingkahnya yang senang sekali
menggoda Lail dengan Esok.
“Apakah setiap kejadian penting
dalam hidupmu terjadi saat hujan? Kalau begitu, itu kabar buruk bagimu, Lail.
Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, Lail. Karena ketika besok lusa kamu patah
hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan
itu. Masuk akal, bukan?”
Seperti
novelnya kebanyakan, jika menyangkut tentang cinta Tere Liye tidak terlalu
menunjukan kata-kata cinta yang indah lewat karakternya. Ia lebih memilih untuk
membuat karakternya membuktikan cinta mereka dengan sebuah perbuatan. Manis,
bukan? Di novel ini pun kita diberikan pelajaran mengenai konsep ‘melupakan’.
“Bukan melupakan yang jadi
masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa
melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan
pernah melupakan.”
Aku berikan 4 dari 5
bintang untuk novel yang satu ini! Bagaimana dengan kalian?
0 komentar:
Posting Komentar